Uncategorized

The Untold Story

Mei, 1998.

Saya berumur 13 tahun waktu itu, tiba-tiba sekolah diliburkan, dan suasana di daerah Mangga Besar cukup hening untuk beberapa saat sampai pada akhirnya ada suara dentuman, BUM!

Ayah saya adalah seorang pendeta, kepala dari sebuah gereja Protestan Tionghoa yang cukup ternama saat itu. Ibu saya juga adalah seorang hamba Tuhan, membantu papa mengurus segala sesuatu yang ada di gereja. Kami tinggal di rumah dinas, di dalam komplek sekolah kristen yang cukup besar di daerah Mangga Besar. Saya ingat betul waktu itu saya dan koko saya yang saat itu duduk di bangku kuliah naik ke atas genteng rumah untuk melihat apa yang terjadi. Dari atap rumah saya yang cukup tinggi itu, saya lihat sekitar daerah hunian saya terbakar. Cukup mencengangkan, saya mendengar suara orang-orang yang berteriak dan juga sepertinya (kalau tidak salah dengar dan ingat) ada beberapa suara ledakan-ledakan ringan di sebelah utara – Mangga Dua terbakar. Kemudian, saya melihat ke daerah Barat – Glodok Plaza yang cukup ditempuh 10 menit dengan jalan kaki itu juga terbakar dan apinya besar membara. Sedangkan di kejauhan sana, daerah Gajah Mada tidak terlewat dari jilatan api. Kebakaran dimana-mana. Apa yang terjadi?

Jujur saja dari kecil, daerah Mangga Besar sudah “terbiasa” kena kebakaran karena daerah kami yang cukup kumuh, terkadang pasar di belakang sekolah – rumah dinas kami terjadi korslet dan beberapa kali rumah saya terancam kebakaran. Mengangkut barang dan kabur dari rumah di tengah malam seperti tidak asing lagi buat saya sedari kecil. Tapi, kebakaran kali ini beda, ini bukan hanya di rumah-rumah kumuh belakang rumah, anehnya justru malah di pusat-pusat perbelanjaan yang besar.

Di umur 13 tahun itulah saya baru mendengar istilah-istilah macam “kerusuhan” dan “penjarahan”. Tidak mudah untuk mencerna arti kata itu, lebih tidak mudah lagi alasan mengapa orang melakukannya.

Seingat saya, sampai saat itu kehidupan saya dari saya kecil “baik-baik” saja. Jadi saya tidak mengerti, kenapa tiba-tiba ada kekacauan seperti ini. Saya sangat tidak mengerti sampai kurang lebih 10 tahun kemudian saya baru bisa sedikit memahaminya..Sedikit sekali.

La Vita E Bella

Bagi kebanyakan teman-teman saya yang sesama “keturunan” kejadian Mei 1998 membekas dan membawa dampak traumatis bagi mereka. Sejak mei 98 itu, teman-teman saya – generasi ketiga dari keturunan cina ini baru tahu bahwa kejadian ini bukanlah yang pertama kali. Pembantaian terhadap papa dan mama mereka pernah terjadi beberapa puluh tahun sebelum Mei 98 itu. Tentu saja papa dan mama mereka tidak bisa diam lagi. Pelajaran sejarah mengapa akhirnya kami yang keturunan selama ini ‘bungkam’ , tidak bisa bergerak, berbicara, bertindak sebebas-bebasnya diceritakan dari satu keluarga ke keluarga lainnya.

Lain halnya dengan keluarga saya. Kejadian Mei 98 saat itu adalah momen “La Vita E Bella” buat saya. La Vita E Bella adalah sebuah film Itali yang menceritakan dua orang Yahudi yang jatuh cinta bernama Guido dan Dora. Guido adalah orang yang periang dan selalu melihat dunia dari sisi yang positif dan indah. Mereka akhirnya menikah dan dikaruniai anak. Ketika kehidupan mereka lagi bahagia-bahagianya, mereka harus terpisah dan dibawa ke Kamp Konsentrasi Nazi.  Selama di kamp konsentrasi, Guido selalu menghibur dan membuat suasana yang menyenangkan untuk anaknya, sampai-sampai anaknya tidak tahu bahwa sebenarnya mereka berada di kamp pembantaian.  Kalian harus nonton pilem itu, keren bgt.

Anyway…. entah mengapa Tuhan mengizinkan saya menyicipi perasaan si anak pada film La Vita E Bella itu di kejadian kerusuhan 98. Orang tua saya tidak sedikitpun membahas tentang pembantaian keturunan cina pada saya, tidak sedikitpun menakut-nakuti saya bahwa kami ini terancam akan terbunuh dan diperkosa. Papa saya memang terkenal orang paling tenang sedunia (kata kolega-koleganya). Mama saya yang biasanya panikan, entah mengapa di masa-masa itu ikut menenangkan saya.

“Wenli (nama mandarin saya), sekarang Wenli libur.. diem di rumah, main di rumah, makan dulu seadanya. Jangan kuatirin yang ada di luar sana. Pokoknya kamu boleh main sepuasnya, terserah mo main apa. Tapi kalau ada apa-apa, pintu kamar belakang itu kita buka, kita ke gang sebelah numpang tinggal di rumah mereka (orang kampung di belakang rumah). Mereka siap menampung kalau ada apa-apa” kurang lebih itu kata mama saya.

“ada apa-apa itu apa, Ma?”

“Ya pokoknya kalau ada apa-apa.. tapi kayanya ga papa sih.. pokoknya sekarang tenang dulu aja”

Setelah kejadian Mei 98 itu saya dikirim ke Malaysia. Pengalaman yang tidak terlupakan. Mama saya mengantar saya ke Ampang, Kuala Lumpur dan meninggalkan saya bersama 2 teman lainnya. Saat itu tidak menyadari betapa sakitnya hati mama saya yang harus mengucapkan selamat tinggal untuk sementara waktu dan kembali ke tanah air. Tidak ada satu kalimatpun dari mulutnya yang mengeluarkan kata kesedihan, dia Cuma bilang, baik-baiklah disana, ada banyak yang jagain kamu. 6 bulan saya “dilempar” dan bingung kenapa saya harus nyangkut di tempat yang membuat saya cukup depresi. Teman, bahasa, budaya, semuanya saya tidak suka. Saya akhirnya minta pulang, dan mama sayapun sangat-sangat-sangat senang ketika saya minta pulang. Saya baru mengerti kalau saya waktu itu ‘diselamatkan’ untuk sementara waktu disana. Saya juga baru tahu belakangan bahwa seluruh tabungan keluarga saya habis ludes hanya untuk melindungi saya. La Vita E Bella.

Not fair

Saya tidak pernah suka menceritakan kisah 98 saya ke orang-orang, karena cerita saya seolah-olah versi Disney banget. Kok engga ada serem-seremnya, engga ada tegang-tegangnya dibanding temen-temen saya yang pernah kejebak ditengah kota tua lagi naik bajaj dan tidak bisa pulang, ketakutan banget karena saat itu belum ada handphone dan dia harus bisa survive pulang ke rumah dengan selamat.

Saya engga pernah suka cerita saya. Saya merasa tidak adil untuk teman-teman yang waktu itu harus melewati horor dan teror harus menanggungnya sepanjang hidup mereka. Belum lagi mereka-mereka yang merupakan korban baik penjarahan maupun sampai perkosaan. Maafkan saya temen-temen. Maafkan kisah Julie ini.

Traumatis memang tidak pernah saya tanggung, sehingga mungkin juga saya tidak pernah merasa terbeban untuk membenci siapapun di bumi pertiwi ini. Tidak ada beban untuk melihat mereka yang katanya pribumi itu jahat sama cina. Saya tidak pernah punya beban bahwa saya adalah orang-orang tertindas yang seharusnya merasa minoritas di negeri ini. Mungkin ini – mungkin inilah mengapa kisah saya berakhir versi ‘la vita e bella’ supaya saya tetap bisa melihat dengan jernih siapa saya di tengah bangsa yang semakin kotak-kotak ini. Saya keturunan cina? iya, keturunan. Tetapi saya lahir disini, saya warganegara bangsa ini, saya cinta semua yang ada di tanah air saya. Negeri ini sudah memberikan banyak hal bagi saya. Saya bisa makan nasi, gorengan, pecel lele, menghirup oksigen, mencicipi kopi Toraja yang harum banget, menikmati setiap keindahan musik, seni, alam, semuanya dari bangsa ini. Bebansaya bukan beban traumatis, beban saya saat ini hanya satu, saya ingin menjadi pribumi bermata sipit berkulit kuning yang bisa mencintai balik dengan berbuat sesuatu untuk bangsa ini.

Satu tanggapan untuk “The Untold Story

  1. Indonesia Raya
    Bolehkah aku mencintaimu?
    Bukan dengan warna kulitku …
    Bukan dengan bentuk mataku …
    Bukan dengan namaku …
    Bukan pula dengan catatan tentang diriku
    atau nenek moyangku …
    Entah dari mana aku berasal …
    aku tak mampu menjelaskan

    Namun dengan nuraniku
    Aku ingin bersandar kepadamu
    Menjadikanmu tumpuan asaku
    Menikmati segala yang kau berikan
    Dari tanah tempatku berpijak
    Mengusahakan yang terbaik
    Untuk setiap kehidupan di sekelilingku

    Indonesia Raya
    Aku mencintaimu dengan nurani yang terdalam

    Suka

Tinggalkan komentar